POLITIK & HUKUM : Cerita Humor untuk Politik Kita
Artikel berikut mencakup informasi terkait yang mungkin menyebabkan Anda untuk mempertimbangkan kembali apa yang Anda pikir Anda mengerti. Yang paling penting adalah untuk belajar dengan pikiran yang terbuka dan bersedia untuk merevisi pemahaman Anda jika perlu.
Mungkin seharusnya kita memandang politik Indonesia dengan rasa humor daripada terus mengerutkan kening. Toh, memang seperti inilah potret bangsa kita saat ini, mulai dari pemimpinnya, birokrasi, oposisi, hingga masyarakatnya. Kejenakaan inilah yang terasa kental dalam diskusi peluncuran emiktur. Singkatan ini pun jangan terlalu dianggap serius karena ini kreasi olok-olok pembuatnya, sineas Garin Nugroho, yang dimaksud adalah esai, komik, dan karikatur dengan judul SBY Superhero. Tak jarang tawa membahana di kafe kantor berita Antara, Jakarta, gara-gara celotehan pembahas buku yang sebenarnya sehari-hari dikenal sebagai pengamat politik serius, yaitu Yudi Latif, Arbi Sanit, dan Muslim Abdurrahman. Garin sambil tersenyum jahil bercerita, tadinya ia mencoba serius untuk membaca Pemilu 2009. Eh, baru setelah sadar, saya kembali berpikir bahwa politik Indonesia sebenarnya hidup dan dihidupkan dari berbagai jenis olok-olok, katanya, Senin (9/11). Bagaimanapun, pemimpin adalah cermin masyarakat, kata Yudi Latif. Ia menambahkan, kekesalan pada pemimpin sebenarnya adalah kekesalan pada diri sendiri. Dia pun merujuk potret masyarakat dalam SBY Superhero yang menyebut tujuh ciri masyarakat kontemporer Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Masyarakat Suku Trendi yang fanatik sekaligus terbuka, global sekaligus primordial, dan penuh lompatan tetapi juga tertinggal. Kedua adalah Masyarakat Kopral Jono (judul lagu klasik yang mengidolakan militer), di mana psikologi komunal rakyat Indonesia tetap cinta pada militer. Ketiga, Masyarakat Gosip Data yang gemar pada sistem rating dan gosip serta euforia poling yang dimanfaatkan berbagai lembaga riset. Keempat, Masyarakat Tumpengan alias semuanya bersama-sama dan tanpa oposisi serta berebut untuk membagi-bagi sayur dan lauk-pauk. Arbi Sanit juga menggarisbawahi olok-olok dalam politik Indonesia. Menurut dia, politik yang menebar simbol tanpa substansi adalah olok-olok karena tidak ada isinya. Politik yang seharusnya adalah demokrasi serta kepercayaan dan kedaulatan rakyat. Lihat berapa banyak Anda dapat mempelajari tentang berita terbaru ketika Anda mengambil sedikit waktu untuk membaca sebuah artikel diteliti baik? Jangan lewatkan pada seluruh informasi yang besar ini.
Masalah kemasan itu juga disoroti Muslim Abdurrahman, yang menyatakan, popularitas dari sesuatu yang nonsubstantif bisa digerogoti dengan mudah karena selama ini citra yang dibangun nonsubstantif. Saya khawatir itu terjadi pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), katanya. SBY Superhero memang membuat kita becermin tentang diri kita sendiri. Adanya kritik sekaligus pujian yang disampaikan dengan ringan dan jenaka. Untuk Presiden Yudhoyono, misalnya, yang menjadi pembuka adalah tujuh jurus jitu kemenangannya dalam Pemilu 2009. Jurus pertama, menyebutkan betapa jeniusnya jurus politik keseimbangan yang digambarkan seperti kesebelasan Jerman yang perlahan tetapi pasti mengatur jalannya pertandingan politik. Jika terdesak, seakan-akan terpojok. Pada momentum yang tepat kembali mengendalikan permainan untuk kemenangan, begitu isi jurus pertama. Selain penjelasan jurus pertama itu, ada kutipan berita tentang terbitnya Perppu penunjukan Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan pola yang sama, disebutkan juga Tujuh Jurus Keblinger: Tujuh Kesalahan Lawan SBY, seperti Keblinger Selebriti. Disebutkan bagaimana juru kampanye dan calon presiden mengalami histeria selebriti, mereka senang tampil di acara televisi setiap hari, tetapi lupa pada tugas utama, yaitu berkampanye. Mereka tampil gagah, menarik, serba wah, dan yang paling penting mampu menguras emosi. Sinetron muncul dengan konsep dan tema yang sama dan semuanya digandrungi penonton. Dulu, masyarakat enggan menyaksikan berita politik. Namun, begitu dikemas dengan gaya infotainment, di mana berbagai hal seperti waktu senggang hingga pakaian ikut dibahas, acara politik pun digemari. Tujuh kritik untuk SBY juga menggarisbawahi betapa Presiden ini mementingkan kemenangan daripada pendidikan kewarganegaraan. Kampanye menyisihkan pendidikan warga negara dan berpusat pada sosok SBY. Menurut Yudi Latif, kini saatnya sosok superhero itu membuktikan dirinya. Sebagaimana jagoan, dia harus datang dong dan menolong ketika krisis. Atau ini hanya citra imajinatif saja, tandasnya. Inilah cerita tentang bangsa kita yang sedang belajar berpolitik. Emiktur ini seperti ingin mengolok-olok kita. (edn)
Sekarang Anda dapat mengerti mengapa ada bunga yang tumbuh dalam berita terbaru. Ketika orang mulai mencari informasi lebih lanjut tentang berita terbaru, Anda akan berada dalam posisi untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Masalah kemasan itu juga disoroti Muslim Abdurrahman, yang menyatakan, popularitas dari sesuatu yang nonsubstantif bisa digerogoti dengan mudah karena selama ini citra yang dibangun nonsubstantif. Saya khawatir itu terjadi pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), katanya. SBY Superhero memang membuat kita becermin tentang diri kita sendiri. Adanya kritik sekaligus pujian yang disampaikan dengan ringan dan jenaka. Untuk Presiden Yudhoyono, misalnya, yang menjadi pembuka adalah tujuh jurus jitu kemenangannya dalam Pemilu 2009. Jurus pertama, menyebutkan betapa jeniusnya jurus politik keseimbangan yang digambarkan seperti kesebelasan Jerman yang perlahan tetapi pasti mengatur jalannya pertandingan politik. Jika terdesak, seakan-akan terpojok. Pada momentum yang tepat kembali mengendalikan permainan untuk kemenangan, begitu isi jurus pertama. Selain penjelasan jurus pertama itu, ada kutipan berita tentang terbitnya Perppu penunjukan Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan pola yang sama, disebutkan juga Tujuh Jurus Keblinger: Tujuh Kesalahan Lawan SBY, seperti Keblinger Selebriti. Disebutkan bagaimana juru kampanye dan calon presiden mengalami histeria selebriti, mereka senang tampil di acara televisi setiap hari, tetapi lupa pada tugas utama, yaitu berkampanye. Mereka tampil gagah, menarik, serba wah, dan yang paling penting mampu menguras emosi. Sinetron muncul dengan konsep dan tema yang sama dan semuanya digandrungi penonton. Dulu, masyarakat enggan menyaksikan berita politik. Namun, begitu dikemas dengan gaya infotainment, di mana berbagai hal seperti waktu senggang hingga pakaian ikut dibahas, acara politik pun digemari. Tujuh kritik untuk SBY juga menggarisbawahi betapa Presiden ini mementingkan kemenangan daripada pendidikan kewarganegaraan. Kampanye menyisihkan pendidikan warga negara dan berpusat pada sosok SBY. Menurut Yudi Latif, kini saatnya sosok superhero itu membuktikan dirinya. Sebagaimana jagoan, dia harus datang dong dan menolong ketika krisis. Atau ini hanya citra imajinatif saja, tandasnya. Inilah cerita tentang bangsa kita yang sedang belajar berpolitik. Emiktur ini seperti ingin mengolok-olok kita.
0 comments:
Post a Comment