Friday, November 6, 2009

YOGYAKARTA : Takdir Pilu Janda Nira

Artikel berikut mencakup informasi terkait yang mungkin menyebabkan Anda untuk mempertimbangkan kembali apa yang Anda pikir Anda mengerti. Yang paling penting adalah untuk belajar dengan pikiran yang terbuka dan bersedia untuk merevisi pemahaman Anda jika perlu.

Oktober adalah kelabu bagi Jemiyem. Sekitar 12 tahun silam, wanita paruh baya yang tinggal di Dusun Gunungrego, Hargorejo, Kokap, Kulon Progo, ini kehilangan suami di awal musim hujan karena jatuh dari atas pohon kelapa. Sugi Suwito Utomo, mendiang suami Jemiyem, seorang pembuat gula jawa.

Memanjat batang-batang nyiur menjadi pekerjaan Sugi untuk mendapat air nira, bahan pembuat gula. Air bunga kelapa yang manis itu hanya tersedia di pangkal pohon. Tingginya 20-30 meter dari permukaan tanah. Jemiyem selalu menyebut Sugi sebagai tulang punggung sejati bagi keluarga. Dua kali sehari, tiap pagi dan sore, Sugi memanjat minimal 40 pohon untuk dapat menghasilkan sekitar 20 liter nira. Nira sebanyak itu akan menghasilkan 5 kilogram gula jawa.

"Hasil penjualan gula cukup untuk makan keluarga," katanya. Sebagai seorang penderes nira tradisional, Sugi tidak memakai alat bantu apa pun untuk memanjat pohon kelapa. Modalnya hanya tenaga dan nyali.

Memanjat bukan pekerjaan mudah apalagi harus membawa batang bambu penampung air nira di pinggangnya. Penderes juga harus mahir mengusir serangan lebah madu. Serangga bersengat itu tidak rela manisnya nira diambil para penderas.

Jika ceroboh, fatal akibatnya. Jemiyem lalu berhenti bicara. Napasnya mendadak sesak dan matanya berkaca-kaca. Air mata meluncur di pipi Jemiyem yang kemudian menunduk. "Saya selalu bilang sama dia untuk berhati-hati, tapi mungkin sudah takdirnya jatuh terpeleset dari puncak pohon," kata nenek satu cucu ini sambil terisak.

Tak sampai setahun setelah kepergian Sugi, dusun terpencil di Perbukitan Menoreh itu kembali berduka cita. Sumirah (50) kehilangan Wagirin, suaminya, penderes kelapa.

Karena musibah itu, kedua janda ini terpaksa harus menghidupi keluarga mereka sendiri. Pekerjaan apa saja, asal menghasilkan rupiah, pasti akan dilakoni. Saat musim tanam tiba, Jemiyem menjadi buruh tani dengan upah Rp 25.000 per hari. Lain waktu, ia terlibat proyek pemerintah, seperti pembuatan jalan dan saluran irigasi. Upahnya sama saja.

Sumirah memilih bekerja di tempat tetangganya, Ny Yanti, seorang pengepul gula jawa di Hargorejo. Di tempat itu, Sumirah menyortir gula dengan upah Rp 20.000 per hari. Awalnya, Sumirah menolak pekerjaan ini. "Melihat gula jawa saya sedih karena selalu teringat bapak. Tapi, kalau saya tidak bekerja, mau makan apa?" ujar ibu tiga anak ini.

Selain bekerja, mereka menjadi kepala keluarga. Namun, mereka tetap bukan lelaki yang selalu tegar. Sumirah histeris saat mengatahui rumahnya habis dilalap api beberapa bulan lalu. Ia pingsan berulang kali dan menangis.

Anda yang belum terbiasa dengan kata kunci pada% terbaru% kini memiliki setidaknya pemahaman dasar. Tapi ada lagi yang akan datang.

Kisah sendu penderitaan janda penderes nira jamak terdengar di Kulon Progo. Di kabupaten ini, jumlah penderes nira mencapai lebih dari 6.000 orang. Sekitar 4.837 di antaranya, atau sekitar 80 persen, terkonsentrasi di Kecamatan Kokap.

Camat Kokap Agus Santosa mengatakan, jumlah kecelakaan kerja penderes memang tinggi. Tahun 2008, 24 penderes tercatat jatuh dari pohon. Separuhnya langsung meninggal, sementara sisanya cacat seumur hidup. Sampai pertengahan 2009 sudah 15 penderes jatuh. Enam di antaranya meninggal.

Untuk membantu para janda, Santosa mengajukan santunan kematian tiap tahun. Kendati demikian, bantuan belum bisa cair semua. Bagi korban meninggal tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo baru mencairkan santunan untuk tujuh janda rata-rata Rp 500.000 per orang.

"Jumlah ini lebih sedikit dari yang pernah dijanjikan pemerintah. Setahu saya, santunan bagi janda penderes mencapai Rp 1 juta per orang," kata Santosa.

Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kulon Progo Suyanto mengatakan, santunan tak dibayarkan penuh karena anggaran terbatas. Ia tak menyebutkan berapa besar anggarannya.

Berbagai upaya pengurangan risiko keselamatan kerja sudah dirintis, tapi tidak ditindaklanjuti. Tahun 2007, warga dan Kepolisian Sektor Kokap mendesain alat keamanan dari jalinan tali tambang, tapi pada praktiknya alat ini justru menghambat penderes.

Setahun kemudian, perusahaan dari Jakarta menawarkan pemakaian alat pengaman dengan kualitas internasional. Alat pengaman itu biasa dipakai pekerja gedung pencakar langit dan pemandu kegiatan wisata petualangan alam, seperti flying fox dan panjat tebing. Alatnya praktis dan penderes tidak kesulitan dalam simulasi. Akan tetapi, harganya Rp 300.000 per unit tak terjangkau.

Pemerintah daerah yang berjanji memperjuangkannya dalam APBD 2009 juga tak berkutik ketika usulan dana itu ditolak legislatif. "Kami juga pernah menganjurkan agar penderes ikut asuransi, namun program itu juga mandek karena penderes kesulitan membayar premi per bulan, meski hanya beberapa puluh ribu rupiah," kata Suyanto.

Ironis memang. Kulon Progo seolah tidak berdaya menyelamatkan nyawa pahlawan-pahlawan ekonomi daerahnya. Mengacu data Badan Pusat Statistik, komoditas gula jawa menduduki peringkat teratas dalam mata rantai perdagangan, yakni mencapai 3.356 ton tahun 2007 senilai lebih dari Rp 17 miliar.

Gula jawa berbentuk remah, atau dikenal dengan nama gula semut, kini juga sudah merambah pasar internasional. Dalam satu bulan, pengiriman gula semut mencapai 2 ton dengan nilai lebih dari Rp 22 juta per bulan.

Perlu keseriusan menangani keselamatan kerja penderes nira. Kendati bukan pekerja formal, hasil kerja mereka dinikmati luas. (YOP)

Ketika kabar tersiar tentang perintah dari berita terbaru fakta, orang lain yang perlu Anda ketahui tentang berita terbaru akan mulai untuk secara aktif mencari Anda.



0 comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails
Backlink Lists|Free Backlinks backlink Free Automatic Link Free Backlink Lists|Free Backlinks